Cinta adalah sebuah perasaan yang muncul ketika seseorang melakukan sebuah tindakan tanpa adanya alasan maupun paksaan. Tidak hanya dalam hubungan antara dua manusia saja, cinta bisa terjadi kepada satu manusia dengan satu kegiatan.
Seorang student athlete dari Universitas Ciputra (UC) Surabaya bernama Mitchell mampu memperlihatkan perasaan cintanya terhadap basket. Ia memulai kecintaannya terhadap basket sejak duduk di bangku Sekolah Dasar kelas dua. Meskipun ia mengenal dan bermain basket sejak kecil, ia tidak memiliki latar belakang keluarga olahraga. Namun, hal tersebut tidaklah menjadi hambatan bagi dirinya untuk mengenal lebih jauh tentang basket.
“Saya pertama kali mengenal basket ketika duduk di kelas dua SD. Kala itu, saya hanya ingin mencoba saja kegiatan ekstrakurikuler basket di sekolah saya. Namun, setelah saya bermain, terdapat perasaan yang membuat saya ketagihan bermain basket mulai dari SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga duduk di bangku kuliah,” ucapnya.
“Saya tidak memiliki latar belakang di dunia olahraga. Orang tua saya pun juga tidak memiliki pengalaman tentang olahraga ataupun basket. Saya bermain dan mengenal basket secara autodidak. Meskipun orang tua tidak mempunyai latar belakang di basket, mereka sangat mendukung kegiatan basket saya. Bagi mereka, yang terpenting adalah saya bisa menyeimbangkan antara pendidikan dan basket,” tambahnya.
Usaha dan perjuangannya di dunia basket mampu menghasilkan beberapa prestasi. Mitchell berhasil meraih runner-up di turnamen Stag pada tahun 2012, delapan besar di Development Basketball League (DBL) Junior pada 2013, enam belas besar DBL Junior pada 2014, dan dua kali beruntun empat besar di LA Campus League pada 2017 dan 2018. Ia juga pernah bermain untuk sebuah klub di Surabaya pada 2011-2012. Namun, sebagian besar pengetahuan tentang basket ia dapatkan secara autodidak dan dari pelatih-pelatih basket di sekolahnya.
Dahulu, student athlete yang mengambil jurusan International Business Management di UC tersebut bercita-cita untuk bisa menjadi pemain basket profesional. Hal tersebut juga dibantu oleh prestasi yang ia peroleh di dunia basket. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ia memutuskan untuk menjadi wanita karier di masa depannya.
“Beberapa orang mengatakan bahwa cinta tidak butuh alasan. Seperti halnya basket, saya tidak membutuhkan alasan mengapa saya menyukai basket. Saya mencintai olahraga basket dari dulu hingga saat ini,” katanya.
“Dahulu, saya sangat ingin menjadi pemain basket profesional. Namun, seiring berjalannya waktu, semakin bertambahnya umur dan tumbuh dewasa pola pikir saya, saya ingin menjadi wanita karier dan mempunyai sebuah usaha di masa depan. Oleh karena itu, saya lebih condong ke akademik daripada nonakademik,” tambahnya.
Pemain yang telah mengikuti LIMA Basketball sebanyak tiga kali ini merasakan bahwa LIMA sangat berdampak bagi dirinya. Mitchell mengatakan, “Menurut saya, LIMA merupakan ajang yang sangat menguntungkan bagi mahasiswa terutama mereka yang memiliki potensi di bidang nonakademik. LIMA sudah dikemas dengan standar yang baik, diolah dengan sistem yang profesional, dan kini sudah diikuti oleh hampir seluruh mahasiswa di Indonesia. Saya berharap LIMA dapat terus berkembang agar dapat menciptakan student athlete yang berguna bagi nusa dan bangsa.”